Saturday, August 15, 2015

Tuhan yang Menjadi Santapan



Minggu ke-20 dalam Masa Biasa
16 Agustus 2015
Yohanes 6: 51-58

Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. (Yohanes 6:53).”

Tuhan yang Menjadi Santapan

Ada makanan, kita hidup; tidak ada makanan, kita mati! Ini adalah persepsi kita pada makanan yang kita konsumsi setiap hari. Namun, pandangan ini sebenarnya terlalu sederhana. Para ahli, dari ahli gizi, praktisi kesehatan sampai dengan analis politik-sosial, setuju bahwa permasalahan makanan tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Mari kita amati pola makan kita sehari-hari. Ketika kita masih muda kita bebas untuk menyantap apa pun yang kita suka, tapi saat kita beranjak tua dan mulai mengindap penyakit tertentu, kita menjadi hati-hati dalam asupan makanan kita. Tidak boleh daging, tidak boleh cemilan lezat, tidak boleh es krim yang manis! Beberapa ilmuwan menyalahkan gula, lain menuduh lemak sebagai pelakunya, tapi sebanarnya semua ini berhubungan dengan pola konsumsi kita. Masalah makanan menjadi lebih kompleks karena menyentuh dimensi psikologis dan sosial manusia. Orang lapar dapat melakukan apa saja hanya untuk memiliki sesuatu di perut mereka: mencuri, kekerasan, bahkan pembunuhan. Jika rasa lapar ini dirasakan seluruh masyarakat, bencana tidak bisa dihindari. Makanan juga adalah tentang ekonomi dan politik. Dari produksi sampai konsumsinya, makanan melibatkan jumlah uang yang sangat besar. Kebijakan nasional bisa didikte oleh para pemain utama dalam industri ini. Sengketa tanah yang menjadi sumber makanan, bisa mengarah kepada perpecahan keluarga, konflik bersenjata, dan pertumpahan darah. Mereka yang memegang kekuasaan atas makanan adalah penguasa bangsa yang sesungguhnya.
Makanan adalah kehidupan kita. Jadi, ketika Yesus berkata, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman”, Ia bermaksud bahwa Dia tidak hanya ingin menjadi bagian dari struktur fisik dan jiwa kita, tetapi Dia ingin memberi dampak bagi komunitas dan dunia, totalitas kehidupan kita. Pada zaman-Nya, perkataan-Nya disalahpahami karena dianggap mempromosikan pengorbanan manusi atau kanibalisme, praktek-praktek yang dikutuk oleh bangsa Yahudi. Kesalahpahaman ini terjadi karena keterbatasan pikiran manusia, yang cenderung untuk menilai hanya bersadarkan apa yang kita lihat. Mereka melihat Yesus sebagai manusia biasa, maka mereka menilai Yesus sebagai orang gila!
Namun, kata-kata Yesus mulai masuk akal setelah Kebangkitan-Nya dan Pencerahan dari Roh Kudus. Apa yang kita terima bukanlah tubuh biasa, tetapi Tubuh dan Darah Kristus yang mulia. Saat kita menyantap hosti kudus, kita mengecap Tubuh yang bangkit dari kubur, kita menikmati manisnya kebangkitan, dan keilahian itu sendiri. Kita mungkin memakan sepotong roti kecil putih yang hambar dalam Ekaristi, dan bertanya bagaimana ini mempengaruhi kehidupan kita. Sekarang, kita bisa melihat, ini Roti Hidup memang merevolusi dunia kita. Ini dimulai dengan Yesus dan kelompok murid-Nya yang kecil di Yerusalem, tapi setelah hampir dua ribu tahun, umat Kristiani yang tak terhitung jumlahnya telah bermunculan dan memberikan kesaksian akan iman mereka dalam Tubuh ilahi Yesus.
Ketika St. Yohanes menulis bahwa Allah telah menjadi daging, daging ini tidak hanya bisa dilihat dan dijamah, tetapi juga ‘dimakan’. Ini melambangkan kasih Allah yang dasyat bagi kita. Dia ingin menjadi satu dengan kita dengan cara yang paling sempurna. Menjadi bagian dari Yesus berarti melihat apa yang Yesus lihat, berpikir dengan cara Yesus berpikir, dan berbuat apa yang Yesus perbuat. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa seperti makanan biasa, Roti Hidup membentuk kita dengan cara bertahap dan tak terlihat. Kita mungkin merasa bahwa menghadiri Misa Kudus adalah rutinitas belaka setiap hari Minggu, tapi tanpa menyadarinya, kita telah menjadi lebih sabar dengan pasangan hidup kita, lebih penuh kasih dengan saudara-saudara kita yang miskin, lebih bersedia untuk berkorban untuk keluarga kita. Kita menjadi apa yang kita makan. Saat kita setia pada Firman dan Tubuh-Nya, kita bersyukur kepada Tuhan yang telah membentuk kita menjadi seperti Dia.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment