Saturday, September 5, 2015

Lebih dari Besar dari Doa Kita



Minggu Biasa ke-23
6 September 2015
Markus 7:31-37

“Orang memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu (Mrk 7:32).”

Santo Markus menulis dengan cukup rinci tentang bagaimana Yesus menyembuhkan orang tuli dan gagap. Yesus memisahkan dia dari orang banyak, Dia menyentuh telinga dan lidahnya, bahkan Dia meludah, dan berdoa kepada Allah Bapa. Kemudian, mujizat terjadi. Sang tuli mulai mendengar dan berbicara. Namun, ada sesuatu yang tidak terjadi di dalam peristiwa ini. Yesus tidak meletakkan tangan-Nya di atas orang tuli itu, sebagai orang-orang menginginkan hal itu terjadi.
Tentunya, Yesus menyembuhkan sang tuli, tapi tidak dengan cara yang orang-orang harapkan. Ini berbicara banyak tentang hubungan kita dengan Tuhan. Kita berdoa dan kita meminta Tuhan untuk memenuhi ujud kita, dan tanpa menyadarinya, kita mulai membuat permintaan kita dengan berbagai rincian. Doa kita sekarang penuh dengan rincian tentang bagaimana ujud-ujud kita yang harus terkabulkan. Kita sekarang mengalihkan perhatian kita bukan pada Allah dan relasi kita dengan-Nya, tetapi pada doa kita, dan secara tidak sadar, pada diri kita sendiri.
Tentunya, berdoa itu sangat baik. Yesus sendiri banyak berdoa dan Dia meminta kita untuk berdoa secara terus-menerus (Luk 18: 1). Dia menyakinkan kita bahwa jika kita memohon di dalam nama-Nya, Ia akan mengabulkannya (Yoh 14:14). Dia bahkan meminta kita untuk percaya kepada-Nya setiap kali kita menyampaikan ujud kita, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu (Mat 7: 7).
Namun, permasalahnya adalah kita cenderung lupa bahwa doa adalah sarana kita untuk berkomunikasi dengan Allah, dan kita mulai menempatkan iman kita pada sarana daripada Pribadi dengan siapa kita berbicara. Kita lebih menaruh iman kita pada doa dan usaha kita daripada pada Tuhan sendiri. Kita mulai berpikir tentang cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas doa-doa kita. Doa terbaik adalah yang terpanjang dan kata-kata paling indah. Yang penting sekarang adalah tentang berapa banyak rosario yang kita daraskan, berapa novena yang kita doakan, berapa banyak misa yang kita hadiri dalam seminggu. Kemudian, saat kita menyadari bahwa doa-doa kita tidak terkabul sesuai dengan keinginan kita, kita menggerutu dan kecewa karena doa-doa kita yang indah tidak mendengar!
Suatu hari saat saya menghadiri kuliah Retorika di Institute of Preaching, saya diminta untuk menulis homili. Saya begitu asyik dalam menulisnya, dan saya yakin bahwa homili saya telah ditulis dengan baik, dan benar secara teologis. Lalu saya sampaikan homili tersebut di depan kelas. Saya pikir saya melakukannya dengan baik, tetapi ternyata teman-teman saya bereaksi bahwa mereka tidak terlalu mengerti apa yang saya katakan. Bahasa saya terlalu sulit dan abstrak. Kemudian, dosen kami menunjukkan penyebabnya. Di antara beberapa elemen dari sebuah pidato, yang paling penting sebenarnya para pendengar. Dalam semua persiapan dan penyampaian, selalu ada dalam pikiran kita adalah para pendengar kita. Sebuah khotbah yang baik mengerti kebutuhan pendengarnya. Saya percaya bahwa itu adalah sama halnya dengan doa. Pendengar utama kita adalah Allah, dan itu berarti perhatian utama kita adalah bagi Dia dan selebihnya adalah pelengkap.
Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak santo-santa dan juga mistikus menyarankan bahwa cara terbaik dalam berdoa adalah masuk dalam keheningan. Seorang wartawan bertanya kepada Bunda Teresa dari Kalkuta tentang apa yang dia lakukan dalam doa. Dia berkata, “Saya mendengarkan-Nya dalam keheningan. Dan wartawan tersebut, berharap untuk menghasilkan wawancara yang baik, bertanya lagi, “Lalu, apa yang Tuhan katakan kepada Anda?” Bunda Teresa menjawab, “Allah juga mendengarkan saya dalam keheningan.”
Injil menunjukkan kepada kita bahwa Allah melakukan banyak hal untuk memenuhi permintaan kita, tetapi Dia melakukannya dengan Kebijaksanaan-Nya sendiri. Masalahnya adalah kita terjebak dalam doa dan harapan kita yang kaku. Ketika tampaknya Tuhan tidak mendengar doa kita, itu bukan karena Dia tidak mendengarkan, tapi karena kita tidak ingin mendengar jawaban-Nya. Semoga hati kita pun terbuka bagi Allah, ‘Efata!’ dan semakin menaruh iman kita kepada-Nya, dan bukan pada diri kita sendiri.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment