Saturday, October 10, 2015

Melihat dengan Mata Kasih



Minggu ke-28 dalam Masa Biasa
11 Oktober 2015
Markus 10:17-30

“Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya…(Mar 10:21)”

Satu hal yang membuat Yesus berbeda adalah kemampuan-Nya untuk melihat dengan mata kasih. Dalam Injil hari ini, kita melihat bagaimana Yesus memandang orang kaya yang ingin memperoleh hidup yang kekal dengan kasih dan sungguh, Yesus menaruh kasih kepada dia. Ini adalah salah satu momen langka di mana penginjil secara eksplisit menggambarkan Yesus sebagai orang jatuh hati pada pandangan pertama. Namun, saya percaya bahwa mata kasih Yesus ini tidak hanya muncul di episode ini, tapi secara implisit dalam banyak cerita lainnya.
Yesus melihat Andreas dan Simon di tepi pantai dan Dia menaruh kasih kepada mereka. Dia kemudian memanggil mereka untuk mengikuti-Nya. Yesus melihat Nathaniel yang berdoa di bawah pohon ara, menaruh kasih kepadanya dan menyebutnya sebagai orang Israel yang kudus. Yesus memandang perempuan yang berzinah dan siap dirajam, Dia menaruh kasih kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Yesus melihat Zacheus, orang pendek yang memanjat pohon, Dia menaruh kasih kepadanya dan memutuskan memunjungi rumah Zakheus, membawa dia pada pertobatan. Dia melihat sang Bunda yang berduka dari kayu salib, ia menaruh kasih kepadanya dan sang Bunda pun dipercayakan kepada sang murid-Nya, kepada kita semua.
Memandang dengan kasih memberdayakan kita untuk melihat melampaui ketidaksempurnaan kita. Sayangnya, tinggal di dunia yang berorientasi sangat prakmatis, kita terus dilatih untuk menilai orang dengan penampilan mereka, keadaan moneter mereka, dan kemampuan mereka untuk bekerja. Semakin cantik, kaya dan berkuasa, semakin banyak orang ingin menjadi teman-teman kita. Di sekolah, kita dihargai dalam hal keunggulan akademik. Di tempat kerja kita, kita dinilai oleh kualitas dan kuantitas apa yang kita hasilkan dan tentunya dari jabatan kita.
Tanpa disadari, filosofi pragmatis ini telah memasuki cara berpikir kita dan digunakan sebagai dasar penilaian kita terhadap hal-hal yang fundamental. Bayi yang belum lahir bisa dilihat sebagai bukan manusia karena mereka dianggap tidak berharga dan bahkan halangan untuk produktivitas kita. Dengan demikian, tidak masalah untuk mengaborsi mereka. Bagi orang tua sepuh dan orang sakit yang tidak lagi berguna, mereka pun dapat disingkirkan demi menjaga stabilitas ekonomi. Orang-orang miskin dilihat sebagai beban ekonomi dan mengurus mereka berarti menghabiskan uang para pembayar pajak. Jadi, biarkan mereka kedinginan, kelaparan, dan telanjang di jalan-jalan.
Mata yang serakah ini sungguh bertentangan dengan mata kasih karena mata kasih bukanlah tentang apa yang kita lakukan atau produksi, tapi tentang siapa kita sesungguhnya. Yesus bukanlah seorang pencari untung yang melihat kita sekedar melalui lensa keuntungan, atau Dia adalah seorang pencari bakat ulung yang mampu mengamati potensi tersembunyi kita. Yesus adalah seseorang yang penuh kasih yang berani untuk mengasihi kita. Dan ketika Jesus benar-benar mengasihi, Dia tidak lagi peduli apakah kita kaya atau miskin, tampan atau jelek, kuat atau lemah. Dia juga tidak peduli apakah kita akan berhasil atau tidak. Kita tahu bahwa Petrus gagal dan bahkan menyangkal Yesus tiga kali, para murid lari ketakutan, Thomas pun tidak percaya Dia bangkit, tapi apakah Yesus salah dalam menaruh kasih kepada mereka? Tidak! Bahkan, Yesus tidak pernah menyerah untuk mengasihi mereka dan kita dalam kegagalan dan kelamahan kita.
Ketika hubungan kasih kita dengan pasangan kita, anak-anak atau teman-teman kita diwarnai oleh rasa sakit, permasalahan, dan kesulitan, kita sadari bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya, karena kita mau mengasihi mereka sama seperti halnya Yesus telah mengasihi kita. Ada saatnya, saya tidak mengerti mengapa seorang ibu memutuskan untuk melahirkan dan tetap mengurus anaknya yang cacat mental. Tapi, sekarang kita tahu bahwa sang ibu tidaklah melakukan sesuatu yang bodoh, tetapi karena dia hanya mencintai cara Yesus mengasihi. Sekarang apakah kita berani untuk belajar melihat dengan mata kasih? Apakah kita berani mengasihi seperti Yesus mengasihi?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment